Sabtu, 22 September 2012

Puasa Hanya 29 Hari

Puasa Hanya 29 Hari, Tidak Perlu Digenapkan 30 Hari Setelah Lebaran

kami mendengar ada komentar orang awam yang mewakili sekelompok orang, ia ingin menggenapkan puasanya menjadi 30 hari karena ia hanya berpuasa 29 hari, awalnya ia mengikuti pemerintah mulai puasa tanggal 20 Juli 2012, ia beranggapan pendapat yang benar sekarang adalah puasa seharusnya mulai tanggal 19 Juli, sehingga puasa seharusnya 30 hari. Jadi ia merasa puasanya kurang  karena pemerintah menetapkan idul fithri tanggal 19 Agustus 2012 dan ia harus mengganti kekurangan tersebut  dengan puasa satu hari setelah lebaran nanti. Pendapat ini kurang tepat.

Bulan Ramadhan bisa 29 atau 30 hari
Perbuatan tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan karena bulan Qomariyah termasuk bulan Ramadhan bisa 29 atau 30 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, Kami tidak mengenal tulis-menulis (mayoritas tidak bisa baca-tulis,  pent) dan tidak pula mengenal ilmu hisab (Mayoritas tidak tahu ilmu hisab[1], pent) Bulan itu bisa seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).[2]
Demikian juga hadits,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Bulan itu(bulan Sya’ban)  dua puluh sembilan malam. Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila tertutup mendung, sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga  puluh hari.”[3]
Al Mawardi rahimahullah berkata,
لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُجْرِ فِي الْعَادَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّهْرُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ، وَلَا أَقَلَّ مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًافَإِذَا وَقَعَ الْإِشْكَالُ بَعْدَ التَّاسِعِ وَالْعِشْرِينَ فِي عَدَدِ الشَّهْرِ عَمِلَ عَلَى الْيَقِينِ وَهُوَ عَلَى الثَّلَاثِينَ
“Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh”[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering berpuasa 29 hari
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
لَمَا صُمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرَ مِمَّا صُمْنَا مَعَهُ ثَلَاثِينَ
“Kami puasa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari”.[5]
Memang asal diperintahkan melihat bulan/hilal pada 29 hari, jika tidak melihat baru digenapkan 30 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[6]

Berpuasa dan shalat ‘ied mengikuti pemerintah/penguasa yang sah
Maka tidak ada salahnya jika hanya berpuasa 29 hari mengikuti pemerintah. Tidak perlu ditambah/di-qhada satu hari lagi setelah lebaran. Bahkan kita diperintahkan berpuasa dan ‘ied mengikuti pemerintah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Hari berpuasa adalah adalah hari di mana kalian semua berpuasa, dan hari ‘Idul Fithri kalian adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul Fihtri, begitu juga hari ‘Idul Adha kalian adalah hari di mana kalian semua melakukan ‘Idul Adha.”[7]

Abul Hasan as-Sindi rahimahullah menjelaskanhadits,
والظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل، وليس لهم التفرد فيها، بل الأمر فيها إلى الإمام والجماعة، ويجب على الآحاد اتباعهم للإمام والجماعة، وعلى هذا، فإذا رأى أحد الهلال، ورد الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور، ويجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك
“Zhahir hadits, maknanya  menunjukkan bahwa perkara ini (ibadah jamaa’i seperti; hari raya, dll) bukanlah perkara yang bisa dilakukan oleh setiap individu. Tidak boleh bagi masing-masing pribadi untuk menyendiri dalam hal ini. Perkaranya kembali kepada Imam (pemimpin) dan jama’ah (kaum muslimin). Wajib bagi setiap individu untuk mengikuti imam dan jamaa’ah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal, dan Imam menolak persaksiannya, maka dia tidak boleh menentukan sikap sendiri, dan wajib bagi dia untuk mengikuti jama’ah dalam hal tersebut.”[8]
Muhammad ash-Shan’aniy rahimahullah berkata,
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ
“Dalam hadits tersebut, terdapat dalil yang menjadi dasar waktu hari raya itu adalah apa yang disepakati oleh masyarakat ditetapkan oleh pemerintah), dan orang yang mengaku telah melihat hilal secara menyendiri, tetap wajib bagi dia untuk mengikuti warga masyarakat”[9]

Raehanul Bahraen, Mataram, 1 Syawwal 1433 H
Artikel www.muslimafiyah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Tinggalkan Komentar Anda Disini

Qur'an Player

ahlulhadistterjemahan-al-quranhadits-bukharyhadits shahih muslimhadits arbain
muslimah.or.idkisah muslimkonsultasi syariahpengusaha muslimkajian netislam-downloadStudy Islamekonomisyariat
yufid tv