Sabtu, 22 September 2012
Puasa Hanya 29 Hari, Tidak Perlu Digenapkan 30 Hari Setelah Lebaran
Posted on 22/09/12 (abu UQBAH)
Bulan Ramadhan bisa 29 atau 30 hari
Perbuatan tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan karena bulan Qomariyah termasuk bulan Ramadhan bisa 29 atau 30 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, Kami tidak mengenal
tulis-menulis (mayoritas tidak bisa baca-tulis, pent) dan tidak pula
mengenal ilmu hisab (Mayoritas tidak tahu ilmu hisab[1], pent) Bulan itu bisa seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[2]Demikian juga hadits,
الشَّهْرُ
تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Bulan itu(bulan Sya’ban) dua puluh sembilan
malam. Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila
tertutup mendung, sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”[3]Al Mawardi rahimahullah berkata,
لِأَنَّ
اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُجْرِ فِي الْعَادَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّهْرُ
أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ، وَلَا أَقَلَّ مِنْ تِسْعَةٍ
وَعِشْرِينَ يَوْمًافَإِذَا وَقَعَ الْإِشْكَالُ بَعْدَ التَّاسِعِ
وَالْعِشْرِينَ فِي عَدَدِ الشَّهْرِ عَمِلَ عَلَى الْيَقِينِ وَهُوَ عَلَى
الثَّلَاثِينَ
“Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh”[4]Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering berpuasa 29 hari
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
لَمَا صُمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرَ مِمَّا صُمْنَا مَعَهُ ثَلَاثِينَ
“Kami puasa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari”.[5]Memang asal diperintahkan melihat bulan/hilal pada 29 hari, jika tidak melihat baru digenapkan 30 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[6]Berpuasa dan shalat ‘ied mengikuti pemerintah/penguasa yang sah
Maka tidak ada salahnya jika hanya berpuasa 29 hari mengikuti pemerintah. Tidak perlu ditambah/di-qhada satu hari lagi setelah lebaran. Bahkan kita diperintahkan berpuasa dan ‘ied mengikuti pemerintah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Hari berpuasa adalah adalah hari di mana kalian semua berpuasa,
dan hari ‘Idul Fithri kalian adalah hari di mana kalian semua
melaksanakan ‘Idul Fihtri, begitu juga hari ‘Idul Adha kalian adalah
hari di mana kalian semua melakukan ‘Idul Adha.”[7] Abul Hasan as-Sindi rahimahullah menjelaskanhadits,
والظاهر
أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل، وليس لهم التفرد فيها، بل
الأمر فيها إلى الإمام والجماعة، ويجب على الآحاد اتباعهم للإمام والجماعة،
وعلى هذا، فإذا رأى أحد الهلال، ورد الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في
حقه شيء من هذه الأمور، ويجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك
“Zhahir hadits, maknanya menunjukkan bahwa perkara ini (ibadah
jamaa’i seperti; hari raya, dll) bukanlah perkara yang bisa dilakukan
oleh setiap individu. Tidak boleh bagi masing-masing pribadi untuk
menyendiri dalam hal ini. Perkaranya kembali kepada Imam (pemimpin) dan
jama’ah (kaum muslimin). Wajib bagi setiap individu untuk mengikuti imam
dan jamaa’ah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal, dan Imam
menolak persaksiannya, maka dia tidak boleh menentukan sikap sendiri,
dan wajib bagi dia untuk mengikuti jama’ah dalam hal tersebut.”[8]Muhammad ash-Shan’aniy rahimahullah berkata,
فِيهِ
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ
لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ
بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ
“Dalam hadits tersebut, terdapat dalil yang menjadi dasar waktu
hari raya itu adalah apa yang disepakati oleh masyarakat ditetapkan oleh
pemerintah), dan orang yang mengaku telah melihat hilal secara
menyendiri, tetap wajib bagi dia untuk mengikuti warga masyarakat”[9]Raehanul Bahraen, Mataram, 1 Syawwal 1433 H
Artikel www.muslimafiyah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Komentar Anda Disini