Sabtu, 27 Oktober 2012

Ketika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at!

Ketika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at!

 
 
 
 
 
 
4 Votes

Fatwa No. 2358
Pertanyaan: “Tahun ini terkumpul dua id, hari Jum’at dan hari raya Iduladha, manakah yang benar, apakah kita mengerjakan shalat Zuhur jika belum mengerjakan shalat Jumat atau shalat Zuhur jatuh jika belum shalat Jumat?”

Jawaban: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum’at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia”. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)
Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).

Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.
Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum’at dan shalat ‘Ied dengan Surat Al ‘Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat ‘Ied dan shalat Jum’at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat (‘Ied dan Jum’at)”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (no. 4365), pent)

Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat ‘Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum’at.
Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat.

Komite Tetap untuk pembahasan Ilmiah dan fatwa untuk Kerajaan Arab Saudi


Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan


Diterjemahkan oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Jumat, 03 Dzulhijjah 1433H
Dammam, Arab Saudi.

Artikel: DakwahSunnah.com publish kembali oleh (Abuuqbahblog.blogspot.com)
Klik disini, untuk baca lebih lanjut ………. »»  

Sabtu, 06 Oktober 2012

Cara Duduk Tasyahhud Terakhir Sholat Subuh

Posted : Abu UQBAH
Print

duduk iftirosy dan tawarruk
Add caption

 
Pertanyaan :
"Manakah yang benar tatkala duduk tasyahhud terakhir sholat subuh, apakah dengan duduk tawarruk (yaitu duduk dengan mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan tidak menduduki kaki kirinya) ataukah dengan duduk iftirosy(duduk dengan menghamparkan kaki kirinya dan duduk diatasnya serta menegakkan kaki kanan)?. Mohon penjelasannya ustadz.

Jawab :
Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) klasik. Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah ini-. Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini", karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.
Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.

Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at,  sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi


أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

”Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).

Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ : فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

”Hadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/413)

Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:

حتى إذا كانت السَّجْدَةُ التي فيها التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا على شِقِّهِ الْأَيْسَرِ

"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnya maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)

Diantaranya juga
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ

"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)

Diantaranya juga

إذا كان في الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ على شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)

Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti " dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir", "sujud yang terakhir yang ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at.


Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)

Dalil Madzhab Hanbali adalah

Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
.
“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”
(HR. Muslim no 498).

Hadits Abdullah bin Az-Zubair

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban no 1943).

Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)


Sisi pendalilan madzhab Hanbali

Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"

Catatan

Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i –yaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.

Sebagai pendekatan logika:

Misalnya penulis berkata kepada para pembaca sekalian tentang sholatnya Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, lantas penulis berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu tentang cara sholatnya Syaikh Abdul Muhsin, tatkala beliau duduk di rakaat kedua maka beliau duduk iftirosy. Dan tatkala beliau duduk di rakaat yang terakhir yaitu rakaat penutup sholat, yang ada salamnya maka beliau duduk tawarruk".
Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?, ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir" maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?
Tentunya yang dipahami adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.

Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.

Peringatan 1:
Sisi pendalilan yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan sebagian orang.
(lihat : http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)

Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.

Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"

Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah.  Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.

Peringatan 2:

Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).

Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :

-    Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
-    Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan panjang lebar. Sebagai contoh : jika Pak Dosen berkata, "Muliakanlah semua mahasiswa", ini merupakan lafal umum. Kemudian ia berkata lagi, "Muliakanlah mahasiswa yang bernama Muhammad". Dan Muhammad adalah salah satu anggota dari keumuman lafal "semua mahasiswa". Maka tidaklah dipahami dari perkataan pak dosen bahwasanya keumuman tersebut dikhususkan sehingga yang dimuliakan hanyalah si Muhammad. Hal ini juga sebagaimana dalam permasalahan ini. Jika disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi asalnya duduk dalam sholat dengan cara iftirosy, lantas datang dalam hadits yang lain –seperti hadits Rifa'ah- bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa untuk duduk iftirosy di tengah sholat (tasyahhud awal) maka hal ini tidak melazimkan kalau di akhir sholat maka tidak iftirosy
-    Pendalilan seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
-    Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir. Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf, karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.

Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)

Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Keempat : keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal ini.

Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.

Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"

فأجاب فضيلته بقوله: الإنسان في صلاة الوتر يجلس مفترشاً؛ لأن الأصل في جلسات الصلاة الافتراش، إلا إذا قام دليل على خلاف ذلك، وعلى هذا فنقول يجلس للتشهد في الوتر مفترشاً، ولا تورك إلا في صلاة يكون لها تشهدان فيكون التورك في التشهد الأخير للفرق بينه وبين التشهد الأول هكذا جاءت السنة، والله أعلم

Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)

Syaikh Al-Albani berkata,

والصواب الذي تدل عليه الأحاديث الصحيحة : أن الافتراش هو الأصل و السنة ؛ على حديث ابن عمر المخرج في « الإرواء » ( 317 ) ، ونحوه حديث عائشة الذي قبله ( 316 ) ؛ فيفترش في كل جلسة وفي كل تشهد ؛ إلا التشهد الأخير الذي يليه السلام ؛ كما جاء مفصلاً في حديث أبي حميد الساعدي

"Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirosy adalah asal (duduk dalam sholat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirosy di setiap duduk (dalam sholat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid As-Saa'idi" (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dlo'iifah 12/268)



Dialog

Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :

Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya

أَنَّ الْقَاسِمَ بن مُحَمَّدٍ أَرَاهُمُ الْجُلُوسَ في التَّشَهُّدِ فَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وثني رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ على وَرِكِهِ الأَيْسَرِ ولم يَجْلِسْ على قَدَمِهِ ثُمَّ قال أَرَانِي هذا عبد الله بن عبد الله بن عُمَرَ وَحَدَّثَنِي أَنَّ أَبَاهُ كان يَفْعَلُ ذلك
Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu" (Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)
Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html

Jawab:

Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata

لِأَنَّ فِي الموطأ أَيْضًا عن عبد الله بن دينار التَّصْرِيْحُ بِأَنَّ جُلُوْسَ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُوْرَ كَانَ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيْرِ

"Karena di dalam kitab Muwatto' juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir" (Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:

عن مَالِكٍ عن عبد الله بن دِينَارٍ * أَنَّهُ سمع عَبْدَ الله بن عُمَرَ وَصَلَّى إلى جَنْبِهِ رَجُلٌ فلما جَلَسَ الرَّجُلُ في أَرْبَعٍ تَرَبَّعَ وثني رِجْلَيْهِ فلما انْصَرَفَ عبد الله عَابَ ذلك عليه فقال الرَّجُلُ فَإِنَّكَ تَفْعَلُ ذلك فقال عبد الله بن عُمَرَ فَإِنِّي أَشْتَكِي
Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)

Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata

وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيْقِ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أن القاسم حدثه عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ يَنْصِبَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسَ عَلَى الْيُسْرَى فإذا حملت هذه الرواية على التشهد الأول ورواية مالك على التشهد الأخير انتفى عنهما التعارض
"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan 'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya (Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306, adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya al-mujtabaa no 1158 dengan lafal من سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ على الْيُسْرَ tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat tasyahhud awal)

Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"

Catatan sangat penting:

Para pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas. Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.
Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).

Tanpa ada penjelasan tentang bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy, karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?

Jawabannya tidak. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan, dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud.

Kesimpulan

Dari pemaparan sederhana di atas maka penulis lebih condong pada pendapat madzhab Hanabilah, bahwasanya sholat yang memiliki satu tasyahhud saja maka duduknya adalah iftirosy karena keumuman hadits Wail bin Hujr. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784).

Bagaiamanapun ini adalah permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.



Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Syawal 1431 H / 24September 2010 M

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com
Klik disini, untuk baca lebih lanjut ………. »»  

Jumat, 05 Oktober 2012

Ringkasan Hukum Sujud Sahwi

 Posted :  Abu UQBAH



Ringkasan Hukum Sujud Sahwi dari penjelasan Syaikh Al-’Utsaimin -rahimahullah-.

Permasalahan Kondisi Tempat sujud sahwi
1 Salam sebelum berakhirnya sholat : Jika ia mengucapkan salam padahal sholatnya belum selesai dalam keadaan lupa
  • Jika dia baru ingat setelah selang waktu yang lama maka mengulangi sholat dari awal.
  • Jika dia ingat setelah selang waktu yang pendek maka tinggal menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian mengucapkan salam
Setelah salam
2 Tambahan dalam sholat : Jika ia menambah dalam sholatnya baik menambah berdirinya, atau duduknya, atau ruku’nya, ataupun sujudnya
  • Jika ia baru ingat setelah selesai dari melakukan tambahan tersebut maka tinggal sujud sahwi saja
  • Jika dia ingat tatkala sedang akan menambah maka dia harus kembali
Setelah salam
3 Meninggalkan rukun sholat : Jika ia meninggalkan salah satu rukun sholat (selain takbirotur ihroom, karena jika yang ditinggal takbirotul ihrom maka sholatnya harus diulang).
  • Jika telah sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka rakaat yang lalu tidak dianggap, dan rakaat yang selanjutnya inilah yang menduduki posisi rakaat yang lalu
  • Kalau ia belum sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka ia harus kembali ke tempat rukun yang ia tinggalkan lalu mengerjakan rukun tersebut dan melanjutkan sholatnya
Setelah salam
4 Ragu dalam sholat : Jika ia ragu dalam sholat apakah sudah sholat dua rakaat atau tiga rakaat?, maka ada dua kemungkinan :
  • Jika ia lebih condong pada salah satu dari dua kondisi tersebut maka ia amalkan, kemudian ia sempurnakan sholatnya dan salam
  • Jika bimbang dan tidak condong pada salah satu kondisi, maka ia amalkan yang ia yakini (pasti) yaitu jumlah rakaat yang paling kecil (dalam hal ini anggap saja ia baru sholat 2 rakaat)
  • setelah salam
  • sebelum salam
5 Jika ia meninggalkan salah satu kewajiban sholat (diantarannya misalanya adalah meninggalkan tasyahhud awal atau lupa membaca subhaana Robbiyal ‘Adziim tatkala ruku’)
  • Ia baru ingat setelah berpindah ke gerakan (rukun) selanjutnya (dalam hal meninggalkan tasyahhud awal maka ia telah tegak berdiri (ke rakaat ketiga), maka ia lanjutkan sholatnya dan tidak kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat tatkala hendak bangun (namun belum sampai tegak berdiri) maka ia kembali duduk untuk tasyahhud
  • Jika ia ingat sebelum bangkit (sebelum kedua pahanya diangkat) maka ia tasyahhud dan tidak perlu sujud sahwi karenapada dasarnya belum ada tambahan atau kekurangan
sebelum salam 
Catatan :
1-    Semua perkara-perkara diatas (baik meninggalkan rukun atau kewajiban, atau mengurangi atau menambah) jika dikerjakan dengan sengaja maka sholat menjadi batal.
2-    Barangsiapa yang meninggalkan sebuah perkara yang mustahab dalam sholat maka tidak perlu sujud sahwi
3-    Sujud sahwi disyari’atkan baik dalam sholat wajib maupun sholat sunnah
4-    Tidak disyari’atkan sujud sahwi dalam sholat janazah, karena asalnya sholat janazah tidak ada ruku’ dan sujud
5-    Sujud sahwi dua kali sujud, terkadang dikerjakan sebelum salam dan terkadang setelah salam. Jika dikerjakan setelah salam maka harus salam lagi.
6-    Sujud sahwi dikerjakana karena adanya tambahan, atau kekurangan atau keraguan
7-    Sujud sahwi dikerjakan setelah salam dikarenakan 2 sebab,

Sebab pertama : Karena adanya tambahan, dan bentuk-bentuk tambahan ada tiga :
-    Menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud (adapun menambah selain dari 4 perkara ini, seperti menambah mengangkat kedua tangan di tempat2 yang tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan maka tidak disyari’atkan sujud sahwi, demikian juga misalnya membaca bacaan yang bukan pada tempatnya seperti membaca doa tasyahhud tatkala berdiri karena lupa, maka tidak perlu sujud sahwi)

Dalilnya hadits Ibnu Mas’ud dimana ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dzhuhur 5 raka’at, maka dikatakan kepada beliau, “Apakah jumlah raka’at telah ditambah?”, Maka Nabi berkata, “Memangnya ada apa?”, maka ada yang berkata, “Engkau sholat 5 raka’at”. Maka beliaupun sujud dua kali setelah salam (HR Al-Bukhari no 1168 dan Muslim no 572)

-    Salam sebelum berakhirnya sholat, dan hal ini termasuk tambahan dalam sholat,  karena tatkala ia salam sebelum waktunya sehingga mengakhiri sholatnya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan sholatnya, maka di akhir sholat ia akan salam lagi, karenanya ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam.
Dalilnya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami para sahabat pada waktu sholat dzuhur atau ashat, lalu tatkala sampai raka’at kedua maka beliau salam. Lantas beliau keluar segera menuju salah satu pintu mesjid. Orang-orangpun berkata, “Sholat telah diqosorkan”. Nabipun berdiri ke sebuah kayu di mesjid lantas beliau bersandar di atasnya, seakan-akan beliau dalam keadaan marah. Lalu ada seseorang yang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau lupa ataukah sholat telah diqosor?”. Nabi berkata, “Aku tidak lupa dan sholat tidak diqosor”. Orang itu berkata, “Engkau telah lupa”. Nabi berkata kepada para sahabat, “Apa benar apa yang telah dikatakan orang ini?”, mereka menjawab, “Benar”. Maka Nabipun maju lalu menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian beliau salam kemudian sujud dua rakaat lalu salam lagi (HR Al-Bukhari no 468 dan Muslim no 573)

-    Meninggalkan rukun sholat, karena jika dia ingat sebelum sampai atau pas sampai pada rukun yang ia tinggalkan pada rakaat berikutnya (sebagaimana kondisi 3a dan 3b di tabel) maka pada hakekatnya ia telah melakukan tambahan gerakan sholat.

Dalilnya adalah dalil diatas tentang salam sebelum berakhirnya sholat, karena barang siapa yang salam sebelum berakhirnya sholat (misalanya salam pada rakaat kedua tatkala sholat dzhuhur) maka pada hekekatnya telah meninggalkan 2 rakaat yang lainnya yang merupakan rukun-rukun sholat dzuhur.
Adapun rukun-rukun yang lain seperti( seseorang yang lupa untuk duduk diantara dua sujud, dan otomatis lupa sujud yang kedua, maka ia telah meninggalkan salah satu rukun sholat) maka hukumnya sama, yaitu sujud sahwinya setelah salam.

Sebab kedua :   jika terjadi keraguan namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4a di tabel)

Dalilnya adalah sabda Nabi :

وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat-pent) kemudian ia sempurnakan sholatnya kemudian salam kemudia sujud dua kali” (HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)

8-    Sujud sahwi dikerjakan sebelum salam dikarenakan 2 sebab
-    Sebab pertama : karena ada kekurangan, dalam hal ini adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban sholat seperti tasyaahud awal

Dalilnya dari sahabat Abdullah bin Buhainah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

صلى بِهِمْ الظَّهْرَ فَقَامَ في الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ لم يَجْلِسْ فَقَامَ الناس معه حتى إذا قَضَى الصَّلَاةَ وَانْتَظَرَ الناس تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

mengimami mereka sholat dzuhur, beliaupun berdiri setelah dua rakaat (yaitu ke rakaat ketiga-pent) dan tidak duduk (tasyahhud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai sholat dan orang-orang menunggu beliau salam, beliaupun bertakbir dalam keadaan duduk lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam” (HR Al-Bukhari no 795 dan Muslim no 570)

Adapun jika meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain (seperti tidak membaca tasbih tatkala ruku’ atau tatkala sujud) maka hukumnya sama diqiaskan dengan jika meninggalkan tasyahhud awal. Oleh karenanya baragsiapa yang lupa membaca tasbih tatkala ruku’ hingga akhirnya ia telah i’tidal maka hendaknya ia meneruskan sholatnya dan tidak kembali ruku’ untuk membaca tasbihnya yang ia lupakan.

-    Sebab kedua : terjadi keraguan namun ia tidak bisa merojihkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4b di tabel)

Dalilnya sabda Nabi :

إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam sholatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia sholat, apakah tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut dan dia bangun sholatnya di atas yang dia yakini (yaitu jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti-pent) kemudian ia sujud dua kali sebelum salam” (HR Muslim no 571)


Sebelum salam Sesudah salam
kekurangan keraguan tanpa ada kecondongan tambahan keraguan namun ada kecendongan


Menambah berdiri atau ruku’ atau duduk atau sujud Salam sebelum berakhirnya sholat Meninggalkan salah satu rukun saholat

9-    Keraguan tidak diperhatikan (yaitu tidak perlu sujud sahwi) jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering (yaitu selalu muncul setiap sholat), atau muncul setelah selesai sholat.

10-    Jika imam lupa lalu sujud sahwi  maka wajib bagi makmum untuk mengikuti meskipun sang makmum tidak lupa. Kecuali masbuq, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam maka sang masbuq mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan sholatnya.

11-    Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya, adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti

سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو atau  ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا

maka tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diringkas dari Risalah fi sujuud As-Sahwi dan As-Syarhul Mumti’ 3/336-399 dan fataawaa Nuur ‘alaa Ad-Darb
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 22 Syawal 1431 H / 01 Oktober 2010 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Sumber: www.firanda.com
Klik disini, untuk baca lebih lanjut ………. »»  

Perkara yg Banyak Dilalaikan Wanita

Perkara yg Banyak Dilalaikan Wanita

 

Posted :  Abu UQBAH

Ustadz Aris Munandar, SS

Pertama: Mewarnai kuku dengan pacar

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ أَوْمَتِ امْرَأَةٌ مِنْ وَرَاءِ سِتْرٍ بِيَدِهَا كِتَابٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَبَضَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَدَهُ فَقَالَ « مَا أَدْرِى أَيَدُ رَجُلٍ أَمْ يَدُ امْرَأَةٍ ». قَالَتْ بَلِ امْرَأَةٌ. قَالَ « لَوْ كُنْتِ امْرَأَةً لَغَيَّرْتِ أَظْفَارَكِ ». يَعْنِى بِالْحِنَّاءِ.

Dari Aisyah, “Ada seorang perempuan menyodorkan sebuah surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari balik tirai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan beliau sambil berkata, ‘Aku tidak tahu apakah ini tangan laki-laki ataukah tangan perempuan’. Perempuan tersebut menjawab, ‘Bahkan tangan perempuan’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau memang perempuan tentu engkau akan mewarnai kukumu” yaitu dengan pacar (HR Abu Daud no 4166, dinilai hasan oleh al Albani).
Sangat disayangkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini telah ditinggalkan berganti dengan mewarnai kuku yang panjang dengan kuteks, mirip sudah dengan perempuan-perempuan kafir.

Kedua: Memanjangkan ujung kain bagi perempuan

عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِى عُبَيْدٍ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ ذَكَرَ الإِزَارَ فَالْمَرْأَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « تُرْخِى شِبْرًا ». قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ إِذًا يَنْكَشِفُ عَنْهَا. قَالَ « فَذِرَاعًا لاَ تَزِيدُ عَلَيْهِ ».

Dari Shafiyah binti Abu Ubaid, beliau bercerita bahwa Ummi Salamah, istri Nabi berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membicarakan larangan isbal (celana di bawah mata kaki, ed) bagi laki-laki, “Bagaimana dengan perempuan, wahai Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya perempuan memanjangkan ujung kainnya sebanyak sejengkal (dari mata kaki)”. Ummu Salamah berkata, “Jika demikian, ada bagian tubuh perempuan yang masih mungkin untuk tersingkap”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, ditambahkan satu hasta (dua jengkal)-dari mata kaki-tapi tidak boleh lebih dari itu” (HR Abu Daud no 4117, dinilai shahih oleh al Albani).
Ini adalah suatu sunnah Nabi yang telah ditinggalkan oleh banyak muslimah bahkan meski sudah bertahun-tahun komitmen dengan jilbab.

Ketiga: Betah di rumah

Di antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Yang artinya, “Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS al Ahzab:33).

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah kecuali karena ada kebutuhan”.

وذكر أن سودة قيل لها: لم لا تحجين ولا تعتمرين كما يفعل أخواتك ؟ فقالت: قد حججت واعتمرت، وأمرني الله أن أقر في بيتي.
قال الراوي:فوالله ما خرجت من باب حجرتها حتى أخرجت جنازتها
.

Disebutkan bahwa ada orang yang bertanya kepada Saudah -istri Rasulullah-, “Mengapa engkau tidak berhaji dan berumrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu (yaitu para istri Nabi yang lain, pent)?” Jawaban beliau, “Aku sudah pernah berhaji dan berumrah, sedangkan Allah memerintahkan aku untuk tinggal di dalam rumah”. Perawi mengatakan, “Demi Allah, beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya kecuali ketika jenazahnya dikeluarkan untuk dimakamkan”. Sungguh moga Allah ridha kepadanya. (Tafsir al Qurthubi ketika menjelaskan ayat di atas).

Ibnul ‘Arabi bercerita, “Aku sudah pernah memasuki lebih dari seribu perkampungan namun aku tidak menjumpai perempuan yang lebih terhormat dan terjaga melebihi perempuan di daerah Napolis, Palestina, tempat Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api. Selama aku tinggal di sana aku tidak pernah melihat perempuan di jalan saat siang hari kecuali pada hari Jumat. Pada hari itu para perempuan pergi ke masjid untuk ikut shalat Jumat sampai masjid penuh dengan para perempuan. Begitu shalat Jumat berakhir mereka segera pulang ke rumah mereka masing-masing dan aku tidak melihat satupun perempuan hingga hari Jumat berikutnya” (Tafsir al Qurthubi ketika menjelaskan al Ahzab:33).

عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : إن الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ و أقرب ما تكون من وجه ربها و هي في قعر بيتها

Dari Abdullah, dari Nabi beliau bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” (HR Ibnu Khuzaimah no 1685, sanadnya dinilai shahih oleh al Albani).


Keempat: Perempuan ketika keluar rumah tidak mengenakan minyak wangi

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».

Dari Abu Musa, dari Nabi, “Semua mata yang melihat hal yang terlarang itu telah berzina. Perempuan yang memakai wewangian lalu melalui sekelompok laki-laki yang sedang duduk-duduk maka perempuan tersebut adalah demikian dan demikian yaitu pelacur” (HR Tirmidzi no 2786, dinilai hasan oleh al Albani).

عَنِ الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِىَ زَانِيَةٌ ».

Dari al Asy’ari, Rasulullah bersabda, “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur” (HR Nasai no 5126, dinilai hasan oleh al Albani).

عن يحيى بن جعدة أن عمر بن الخطاب خرجت امرأة على عهده متطيبة فوجد ريحها فعلاها بالدرة ثم قال تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات


Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata, “Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?!! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian” (HR Abdurrazaq dalam al Mushannaf no 8107).

عن بن جريج عن عطاء قال كان ينهى أن تطيب المرأة وتزين ثم تخرج

Dari Juraij, Atha, seorang tabiin, melarang perempuan yang hendak keluar rumah untuk memakai wewangian dan berdandan (Riwayat Abdur Razaq no 8108).

عن إبراهيم قال طاف عمر بن الخطاب في صفوف النساء فوجد ريحا طيبة من رأس امرأة فقال لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها قال فبلغني أن المرأة التي كانت تطيبت بالت في ثيابها من الفرق


Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata, “Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai ngompol karena takut (dengan Umar)” (Riwayat Abdur Razaq no 8118).
Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber: www.ustadzaris.com
Klik disini, untuk baca lebih lanjut ………. »»  

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam



Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]
Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3]
Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[4]
 Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]
Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulanRamadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawihyang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”[12]
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15]. Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”[16] Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.


[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.
[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.
[6] Lihat Fathul Bari, 4/251.
[7] Idem.
[8] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkanhadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9633.
[10] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.
[11] HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761.
[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635
[13] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635
[14] Fathul Bari, 4/254.
[15] Fathul Bari, 3/21.
[16] HR. Muslim no. 767.
Klik disini, untuk baca lebih lanjut ………. »»  

Qur'an Player

ahlulhadistterjemahan-al-quranhadits-bukharyhadits shahih muslimhadits arbain
muslimah.or.idkisah muslimkonsultasi syariahpengusaha muslimkajian netislam-downloadStudy Islamekonomisyariat
yufid tv